SURABAYA, 5 DESEMBER 2024 - Keputusan Presiden Prabowo untuk menaikkan Upah Minimum Nasional sebesar 6,5% cukup membuat kaget kalangan pelaku usaha. Mereka mengaku khawatir kebijakan ini bakal berdampak pada keberlangsungan kinerja dunia usaha dan industri di Indonesia, khususnya Jawa Timur (Jatim).
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Adik Dwi Putranto mengungkapkan bahwa saat ini kondisi ekonomi dalam negeri belum sepenuhnya menguat. Situasi global yang tidak menentu berdampak pada perlambatan ekonomi nasional.
"Pengusaha masih kesulitan untuk menangani hal tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut akan semakin memberatkan pelaku usaha," kata Adik Dwi Putranto.
Meski demikian ia tidak menampik jika kebijakan tersebut akan berdampak positif terhadap naiknya daya beli masyarakat. "Ini adalah dua hal yang harus disikapi dengan bijaksana oleh teman pengusaha, buruh dan pemerintah," lanjutnya.
Jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan, maka Adik memperkirakan daya saing industri akan semakin melemah. Padahal saat ini daya saing Indonesia mulai membaik.
Berdasarkan laporan Global Competitiveness Index tahun 2023 yang dikeluarkan International Institute for Management Development (IMD), peringkat daya saing Indonesia naik dari posisi ke-44 menjadi ke-34 atau naik 10 tingkat di tingkat global.
"Kami khawatir dengan adanya kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% ini akan melemahkan daya saing. Padahal pengusaha itu nomor satunya di daya saing. Apalagi pemerintah juga merencanakan kenaikan PPN menjadi sebesar 12 persen. Kalau pengusaha merasa berat, saya khawatir akan ada gelombang PHK karena memang situasinya berat," ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, pengusaha berharap pemerintah kembali mempertimbangkan kebijakan tersebut. "Mungkin kenaikan tidak sebesar 6,5 persen, misalkan 3 persen atau 4 persen karena ada pertimbangan-pertimbangan tertentu," kata Adik.
Dan kenaikan tersebut menurutnya harus diimbangi dengan kompensasi. "Apa sih yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperkuat pengusaha khususnya yang padat karya. Harus ada kompensasi untuk pelaku usaha agar tetap bisa berjalan dan tumbuh," tegas Adik.
Kompensasi bisa dengan memberi stimulus berupa kepastian, kemudahan dan kecepatan berusaha. Biaya siluman juga harus sepenuhnya dihilangkan karena biaya siluman ini dirasa cukup meresahkan dan nilainya juga besar, bisa mencapai 10% lebih dari biaya produksi.
"Itu yang perlu ditertibkan sehingga dampak kenaikan upah minimum ini tidak terlalu memberatkan industri dan pengusaha," katanya.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja. Karena produktivitas tenaga kerja dalam negeri relatif masih rendah. Di Jatim misalnya, produktivitas tenaga kerja di kawasan yang masuk ring satu sama dengan yang ada di ring dua.
"Sehingga banyak perusahaan yang bergeser ke ring dua atau bahkan berpindah ke Jawa Tengah," katanya. Untuk itu, program sertifikasi kompetensi tenaga kerja harus lebih digencarkan agar produktivitas semakin meningkat.
Ia mengaku, sejauh ini perusahaan telah berupaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan melakukan pelatihan dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja untuk meningkatkan mutu merel. Namun upaya tersebut masih jauh dari cukup. Oleh karena itu, subsidi sertifikasi kompetensi tenaga kerja harus diperbanyak.
"Di Jatim misalnya, yang ditangani kadin Jatim hanya 600 tenaga kerja. Jumlah ini memang sudah banyak tetapi harus lebih digencarkan lagi melalui berbagai kementerian, baik di kementerian perindustrian maupun kementerian tenaga kerja atau di BNSP sendiri," katanya.
Sertifikasi kompetensi tenaga kerja menjadi keniscayaan karena jumlah tenaga kerja yang sudah tersertifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) hanya sekitar 10% dari total tenaga kerja yang ada. "Jika kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen ini dibarengi dengan solusi yang jelas, itu jauh lebih baik agar ekonomi tetap berjalan dan PHK tidak terjadi," pungkasnya.